Dalam 100 tahun, potensi genangan banjir di lembah Cikapundung bisa mencapai Jalan Cihampelas dan Tamansari. Artinya, ribuan penduduk yang tinggal di kawasan Pelesiran dan Taman Hewan terancam habis tersapu banjir.
Ancaman banjir di Cekungan Bandung memang bukan main-main. Hal ini terungkap dalam diskusi bertajuk “Banjir dalam Perspektif Alquran dan Sains†pada Sabtu, 13 Februari 2010 di Ruang GSS E Salman ITB. Diskusi yang diselenggarakan LPI Salman ITB ini menghadirkan narasumber Dr. Agung Wiyono (dosen Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, KK Water Engineering Research Division) dan Ust. Abu Yahya Purwanto, S.Si (pengkaji tafsir).
Hadir sebagai penanggap dalam diskusi ini: Prof.Dr. T. Djamaluddin (peneliti cuaca dan matahari LAPAN Bandung), Dr. Moedji Raharto (dosen Program Studi Astronomi FMIPA ITB), Ir. Hasan (peneliti BATAN Bandung), dan Drs. Johansyah (Wakil Sekretaris YPM Salman ITB).
Penyebab banjir
Selain mengungkapkan ancaman bahaya banjir, Dr. Agung juga memaparkan penyebab terjadinya banjir. Banjir pada hakekatnya terjadi karena perubahan karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS) di hulu dan maupun di hilir.
Perubahan utama di hulu adalah berkurangnya luas tutupan lahan (land covering) akibat perubahan fungsi lahan. Lahan yang semula hutan, ditebang untuk dijadikan permukiman, area wisata, industri, dan lain-lain. Perubahan lain adalah meningkatnya curah hujan. Perubahan ini sifatnya cenderung alami dan tidak bisa dikontrol oleh manusia.
Di daerah hilir, perubahan yang meningkatkan potensi banjir adalah pendangkalan sungai dan atau penyempitan lebar sungai. Pendangkalan sungai terjadi karena sedimentasi, yang meskipun alami, diperkuat intensitasnya oleh hilangnya land covering di hulu. Adapun penyempitan lebar sungai, selain karena sedimentasi, kini semakin sering terjadi akibat penggunaan bantaran sungai untuk permukiman.
Perubahan karakteristik DAS akan sangat menyulitkan pengelolaan limpahan air. Saluran drainase, tanggul, penyodetan aliran sungai, dan teknik-teknik lain, selalu dirancang dengan asumsi tertentu. Asumsi ini menggunakan parameter karakteristik DAS. Jika karakteristik DAS-nya berubah, tentu saja asumsinya akan berantakan. Ujung-ujungnya, semua teknik di atas akan sia-sia.
Penanggulangan banjir
Menurut Dr. Agung, penanggulangan banjir pada dasarnya melewati beberapa tahap. Kegiatan pertama adalah pengambilan foto udara. Kegiatan ini bertujuan menentukan kawasan DAS mana atau bagian mana dari sebuah DAS yang terancam banjir. Foto udara dilanjutkan dengan survei topografi dan penyelidikan karakteristik tanah.
Data dari kedua survei tersebut, plus data curah hujan, menjadi input untuk pembuatan model tanggul. Model tanggul biasanya dikerjakan lewat simulasi komputer. Setelah parameter-parameter fisik dan ukuran model tanggul dianggap mampu memenuhi kebutuhan limpahan air, model tersebut pun dibangun dalam ukuran tanggul yang sebenarnya.
Dalam rangkaian penanggulangan banjir tersebut, tahap yang paling mahal adalah pengambilan foto udara. Karena mahalnya, seringkali sulit meyakinkan pemerintah daerah untuk melakukannya. Kesulitan ini juga terjadi di Jabar. Akibatnya, “Kita tidak punya foto udara yang up to date untuk Cekungan Bandung,†keluh Agung.
Pertimbangan politik anggaran memang seringkali menjadi penghambat. Bahkan, di DKI Jakarta sekali pun, tutur Dr. Agung, pengajuan anggaran penanggulangan banjir dari Dinas PU setempat selalu mentok di Departemen Keuangan.
Hambatan lain yang tidak kalah besarnya adalah kebocoran anggaran. “Proyek penanganan banjir kebanyakan berakhir dengan korupsi,†tukas Dr. Agung.
Pencegahan banjir
Dengan adanya hambatan-hambatan di atas, sebenarnya langkah yang lebih tepat sekaligus strategis adalah pencegahan banjir. Menurut Dr. Agung, konsep penanganan air permukaan, khususnya di kota-kota besar, sangat keliru. “Bukan mengalirkan air sebanyak-banyaknya. Seharusnya menampung air sebanyak-banyaknya,†ujar Agung. Pandangan Agung diamini Prof. T. Djamaluddin, “Orang sekarang cenderung melihat air hujan sebagai limbah.â€
Oleh karena itu, Agung mengusulkan konsep eco drainage yang dimulai dari kawasan permukiman. Konsep yang sudah populer di Eropa, khususnya Jerman ini, sebenarnya cukup mudah diimplementasikan. Inti konsep ini adalah menyimpan limpahan air sebanyak-banyaknya, dan menahannya agar mengalir secara bertahap, tidak sekaligus.
Misalkan satu rumah menyiapkan drum penampungan untuk 1 hingga 5 kubik air. Maka dengan 1000 rumah saja akan dapat ditampung 5.000 kubik air. Jumlah ini menurut Dr. Agung akan sangat berarti dalam menahan limpahan air. Belum lagi jika ditambah kolam penampungan di setiap RW atau kompleks.
Jika air masih melimpah juga, penahan berikutnya adalah saluran-saluran got di tepi jaringan jalan kompleks. Saluran ini bertindak sebagai saluran tersier sebelum masuk ke saluran sekunder di tepi-tepi jalan raya. Terakhir, barulah limpahan air dari saluran sekunder diterima oleh saluran primer berupa kanal banjir atau sungai besar seperti Cikapundung.
Dalam skema seperti ini, air hujan yang ditampung bukan saja mencegah banjir. Air tampungan juga bermanfaat untuk mengisi kembali (re-charge) reservoir air tanah di bawah permukaan. Sehingga, pada musim kemarau warga tidak akan kekurangan air.
Sayangnya, warga masyarakat dan pemerintah lebih senang membiarkan air hujan mengalir secepat-cepatnya ke sungai (saluran primer). Akibatnya, bukan saja sungai segera meluap, jalan raya pun berubah menjadi “sungai†kecil.
Pencegahan banjir dengan konsep eco drainage juga meniscayakan keberadaan dan berfungsinya saluran-saluran tersier, sekunder hingga primer di perkotaan. Diperlukan kebijakan dan aturan penataan lahan yang jelas serta pengembalian fungsi lahan-lahan yang semula adalah saluran air.
Salah satu contoh lahan yang perlu dikembalikan fungsinya sebagai saluran sekunder adalah bantaran Sungai Cikapundung. Tentu saja diperlukan ketegasan dan keberanian pemerintah untuk melakukan hal ini. Selain itu, pemerintah pun perlu menyiapkan solusi sebelum merelokasi warga di sana. Perumusan solusi tersebut menurut Agung, seyogyanya dibantu oleh ITB sebagai perguruan tinggi terdekat dengan kawasan tersebut.
Terkait perubahan persepsi masyarakat, langkah yang tidak kalah pentingnya adalah sosialisasi konsep eco drainage ini. Dalam pandangan Ust. Abu Yahya Purwanto, sosialisasi kepada masyarakat hendaknya lebih menonjolkan manfaat konsep yang disodorkan. Perlu diangkat contoh-contoh keberhasilan penerapan konsep ini. Seperti yang diungkapkan Drs. Johansyah, “Seorang kawan saya punya sumur resapan diameter 3 m dengan kedalaman 4 m. Dua hari dua malam hujan pun rumahnya tidak pernah kebanjiran.â€Â Johansyah menambahkan, para pakar dalam bidang tata air juga perlu lebih sering menulis ke media massa.
Banjir sebagai sarana introspeksi
Banjir sudah umum dipahami sebagai sebuah musibah. Dalam paparan Ustadz Purwanto, di satu sisi musibah adalah ujian untuk menaikkan derajat seorang mukmin, sekaligus menghapuskan dosa-dosanya. Namun, menurut Ust. Purwanto, orang jarang menyadari bahwa keburukan yang menyertai musibah datangnya dari manusia juga. Pengubahan tata lahan secara semena-mena, kesembronoan dalam menangani limpahan air, tidak bersyukur atas limpahan air hujan, semua itu adalah perbuatan yang dipilih oleh manusia sendiri.
"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." [Q.S. 30:41]
Musibah datang untuk menyadarkan kita, mengajak kita berintrospeksi, merenungi kekeliruan-kekeliruan perbuatan-perbuatan kita.
Selepas banjir surut, sudah sepantasnya kita kembali mensyukuri karunia air dari Allah SWT, dengan menata dan memanfaatkannya sebaik-baiknya. Kelanjutan dari syukur menurut Ust. Purwanto adalah menyebarkan ihsan. Ihsan adalah mengerahkan seluruh usaha kita dalam mengerjakan sesuatu secara sempurna. Ihsan harus dilandasi ikhlas, yaitu takut dan harap hanya kepada Allah SWT. Kedua hal inilah seharusnya, yang mendasari gerak kita dalam mengatasi permasalahan banjir.
Sumber :
Salim Rusli
http://salmanitb.com/2010/03/banjir-dalam-perspektif-sains-dan-alquran/
13 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar