Selasa, 17 Agustus 2010

Banjir Bukti Kegagalan Kolektif

Pepatah mengatakan bahwa pengalaman adalah guru yang paling berharga, namun pada kenyataannya pepatah tersebut tidak berlaku bagi “penghuni” Jakarta dan kota-kota sekitarnya. Penghuni Jakarta adalah seluruh stakeholder kota yang meliputi pemerintah pusat dan daerah, masyarakat dan swasta. Mengapa pengalaman banjir tiap tahun tidak menjadi guru yang paling berharga buat penghuni Jakarta?. Padahal banjir di Jakarta dari tahun ke tahun wilayahnya semakin meluas. Dampak kerugian materiil pun sangat besar, apalagi ditambah dengan dampak psikologis dan nyawa yang hilang. Luasnya daerah banjir tersebut bukan tidak mungkin akan menenggelamkan Jakarta dan sekitarnya suatu saat nanti. Tapi kenyataannya hal ini tetap belum mendapatkan perhatian yang memadai dari penghuni Jakarta. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, mungkin kedepannya kita semua harus mulai menyiapkan kendaraan alternatif lain seperti perahu karet atau perahu kecil pribadi, atau bahkan meyiapkan alternatif permukiman di atas air.

Pertanyaaannya apa yang menyebabkan kondisi seperti ini seolah-olah dibiarkan oleh penghuni Jakarta dan sekitarnya?. Bukannya mencari solusi bersama, yang terjadi adalah kita justru mencari kambing hitam. Masing-masing menyalahkan satu dengan lainnya. Bahkan juga sempat muncul isu perlunya memindahkan ibukota negara. Tulisan berikut mencoba untuk menelusuri penyebab banjir di Jakarta dan sekitarnya dengan melihat peran masing-masing aktor dan berharap dapat memberikan titik terang dari musibah ini sehingga masing-masing menyadari bahwa banjir di Jakarta bukan merupakan kesalahan perorangan, kelompok tertentu ataupun alam tapi lebih kepada kegagalan kolektif yang harus kita sadari bersama. Saat ini adalah waktunya untuk berhenti dari kebiasaan lari dari kenyataan serta saling menyalahkan, tetapi mencoba menghadapi persoalan bersama-sama.

PERMASALAHAN

Permasalahan banjir di Jakarta dan sekitarnya dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok utama. Pertama, sebagai akibat ulah manusia (man made) baik disadari atau tidak. Kedua, karena alam (nature).

Permasalahan banjir sebagai akibat ulah manusia

Kerusakan di Hulu yang dilakukan oleh manusia, disadari maupun tidak. Kerusakan yang dilakukan secara sadar meliputi pembangunan permukiman/bangunan dengan kepadatan dan/atau intensitas tinggi, seperti villa, hotel, resort; penggundulan hutan; pembukaan daerah hijau, dsb. Pembangunan yang kurang memperhatikan lingkungan tersebut menyebabkan penyempitan daerah aliran sungai dan berkurangnya daerah resapan air, yang pada akhirnya menimbulkan erosi, sedimentasi dan pendangkalan sungai. Hal tersebut juga berdampak pada meningkatnya run off dan berkurangnya kapasitas tampung sungai. Sedangkan kerusakan yang dilakukan secara tidak sadar biasanya terkait dengan kebiasaan (perilaku) antara lain kebiasaan membuang sampah sembarangan di sungai. Hal ini bisa jadi ditimbulkan oleh kurangnya pemahaman.

Ketidaksiapan di Hilir. Salah satu dampak besarnya urbanisasi ke Jakarta antara lain dapat dilihat dari banyaknya pembangunan permukiman di bantaran sungai dan daerah lain yang sebenarnya tidak diperuntukan bagi permukiman. Seperti yang terjadi di hulu, hal ini juga berdampak pada penyempitan dan pendangkalan sungai serta berkurangnya daerah resapan air. Di sisi lain pembangunan permukiman cenderung tidak didukung oleh infrastruktur yang memadai seperti penyediaan saluran drainase, sanitasi dan persampahan. Pembangunan yang tidak terkontrol dan kebiasaan buruk membuang sampah sembarangan mengakibatkan meningkatnya run-off dan menurunnya kapasitas sungai. Kondisi ini diperparah oleh infrastruktur yang tidak memadai, sehingga menyebabkan banjir setiap tahun semakin parah.



Dari pembahasan singkat di atas terlihat bahwa permasalahan banjir ini sangat terkait dengan pengembangan wilayah, yaitu keterpaduan pembangunan dan pengelolaan di kawasan hulu dan hilir, serta lebih jauh lagi keterpaduan dengan pengembangan dan pengelolaan kawasan pesisir dan laut. Seperti diketahui banjir di kawasan utara DKI Jakarta juga dipengaruhi oleh pasang naik air laut yang lebih tinggi dari biasanya. Semua kegiatan sosial, ekonomi, lingkungan tersebut seharusnya diatur dalam penataan ruang terpadu (meliputi kawasan hulu, hilir, dan pesisir) yang bersifat multi stakeholder dan multi disipliner.

Alam

Kita tahu bahwa fenomena alam tidak bisa kita hindari termasuk juga fenomena alam yang menyebabkan terjadinya banjir seperti curah hujan yang tinggi, daya dukung alam yang terbatas, gelombang laut yang tinggi, air laut pasang pada tiap bulan purnama dan lain-lain. Berdasarkan pengalaman dan kemajuan teknologi, fenomena alam seperti ini dapat diprediksi. Namun demikian, seringkali yang terjadi adalah kita melakukan pembangunan tanpa mengindahkan fenomena alam ini. Tanda-tanda alam hanya menjadi faktor pelengkap dan belum dijadikan sebagai suatu landasan dalam membuat rencana pembangunan karena sering dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan ekonomi. Ketidakmampuan–atau dalam beberapa hal ketidakmauan-melakukan pembangunan dengan menjaga kelestarian lingkungan pada akhirnya justru membahayakan keberlangsungan hidup dan menyebabkan kerugian ekonomi yang lebih besar. Intinya, seharusnya kita sadar bahwa bukan alam yang menyesuaikan diri dengan kita (manusia), tetapi kitalah yang harus bijak menyesuaikan diri dengan kondisi alam yang ada.

Peran Masing-masing Stakeholder

Kita harus berani mengakui bahwa permasalahan banjir ini timbul sebagai akibat kesalahan kolektif. Dengan mengakui kesalahan kita akan dapat masuk ke tahap selanjutnya, yaitu memperbaiki kesalahan tersebut. Dalam hal ini setiap stakeholder mempunyai perannya masing-masing. Beberapa peran tersebut dikemukakan di bawah ini:

Masyarakat• Masih rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dan perannya masing-masing. Masyarakat perlu disadarkan bahwa mereka juga mempunyai peran dalam menimbulkan banjir. Misalnya adalah kebiasaan mereka membuang sampah sembarangan atau membangun rumah di bantaran sungai/kali.


Pengembang (Developer)• Dalam membangun perumahan, pengembang (developer) harus melakukannya secara bertanggung jawab, yaitu membangun di kawasan yang memang diperuntukkan bagi permukiman, sesuai dengan zoning regulation, dan dilengkapi dengan infrastruktur yang memadai dan terpadu dengan infrastruktur kota


Pemerintah Daerah• Ketidaksiapan Pemerintah DKI Jakarta menjalankan fungsinya dalam membangun Jakarta sebagai kota yang dapat memberikan kenyamanan bagi setiap warganya. Seringkali pembangunan dilakukan tanpa memperhatikan faktor lingkungan dan daya dukung alam. Hal ini antara lain terlihat dari banyaknya pembangunan yang dilakukan tidak sesuai dengan peruntukannya. Sementara itu pembangunan infrastruktur juga belum dapat mendukung aktivitas kota yang sangat tinggi serta melayani kebutuhan masyarakat.
• Masih kurangnya kerja sama antar daerah karena masih tingginya ego daerah. Dampak negatif dari otonomi daerah adalah Ketidaksiapan dan Ego kota-kota di sekitar DKI Jakarta dalam melakukan pembangunan sehingga melupakan perlunya keterpaduan pembangunan antar kota-kota.


Pemerintah Pusat
• Kebijakan Pemerintah Pusat terkait dengan pengembangan wilayah dimana DKI Jakarta difungsikan sebagai pusat semua aktifitas, sehingga terjadi ketimpangan pembangunan yang membuat kota-kota lain kurang berperan. Akibatnya urbanisasi di DKI Jakarta dan sekitarnya semakin tinggi. Urbanisasi ini menyebabkan munculnya pekerja-pekerja informal yang sebagian besar hanya mampu memenuhi kebutuhan perumahan informal yang umumnya terletak dilahan-lahan illegal seperti di bantaran sungai.
• Ego sektoral dari masing-masing Departemen atau Instansi yang terkait sehingga memperparah terjadinya banjir di Jakarta dan sekitarnya karena masing-masing bekerja berdasarkan kepentingan sektor sehingga melupakan pentingnya keterpaduan pembangunan.
• Lemahnya institusi BKTRN (Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional) membuat koordinasi dan kerja sama antar kota dan wilayah tidak jalan sebagaimana mestinya. Sehingga hal-hal yang terkait dengan pembangunan di kota-kota tidak bisa dikoordinasikan dengan baik, terutama dalam konteks pengembangan wilayah. Padahal masalah bencana alam dalam hal ini banjir tidak pernah mengenal batas-batas administrasi maupun sektoral.
• Belum efektifnya penggunaan RTRW sebagai landasan dalam melakukan pembangunan sehingga membuat celah terjadinya penyimpangan-penyimpangan pembangunan.
• Belum ditetapkannya Rencana Tata Ruang Pulau Jawa, dimana fokus rencana tata ruang tersebut adalah pada pengendalian bencana di Pulau Jawa termasuk didalamnya adalah bencana banjir.


BELAJAR DARI KESALAHAN

Dari permasalahan-permasalahan yang diungkapkan di atas kita harus sudah mulai belajar dari kesalahan artinya kita harus melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah yang harus dikerjakan dan bukan dibiarkan atau lari dari kenyataan ataupun dilupakan. Karena masalah yang dihadapi sangat besar dan melibatkan banyak fihak dan berdampak pada kerugian secara ekonomis maupun psikologis. Tentunya pemecahan masalah ini tidak bisa dikerjakan sendiri tapi dikerjakan bersama secara terpadu sesuai dengan perannya masing-masing.

Pekerjaan rumah yang harus segera dikerjakan dari peta masalah di atas adalah:• Pembangunan yang dilakukan oleh manusia (man made) harus sesuai dengan irama alam artinya harus bersahabat dengan alam
• Kebijakan pemerintah pusat dan daerah harus saling mendukung
• Jangan ada lagi ego sektoral dan ego daerah yang dapat membuat tersendatnya penyelesaian masalah banjir
• Pemerintah pusat dan daerah harus siap menangani gejala alam seperti banjir yang datang secara regular tiap tahun
• Peran BKTRN perlu difungsikan kembali agar dapat menyelesaikan masalah terutama yang terkait dengan koordinasi,sinkronisasi dan keterpaduan pembangunan antar daerah
• Instrumen yang ada harus ditaati dan jangan dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan ekonomi sesaat (jangka pendek), tetapi pembangunan harus disusun dalam kerangka jangka panjang.
• Masing-masing aktor harus menyadari dan menjalankan perannya
• Edukasi/sosialisasi terhadap semua stakeholder harus terus dilakukan untuk membangun kesadaran bersama tentang pentingnya kelestarian lingkungan


Pekerjaan rumah tersebut sepertinya sederhana tetapi kenyataannya sulit untuk dilaksanakan namun dengan adanya kejadian ini kita jangan lagi menyelesaikan masalah ini pada tataran wacana tapi harus ada aksi nyata dan duduk bersama untuk menyelesaikannya. Jadikanlah banjir ini sebagai pelajaran yang paling berharga bagi kita semua.


Jakarta, 9 Februari 2007

Kontributor
Gita C. Napitupulu dan Desyrijanti Azharie


Sumber :
http://urdi.org/news/banjir-bukti-kegagalan-kolektif.deo

1 komentar:

  1. Banjir seolah menjadi hal yang memprhatinkan terutama di jakarta yang menjadi ibukota negara.Masyarakat saya yakin bisa tersadarkan untuk menjaga kebersihan dan mempunyai budaya membuang sampah pada tempatnya dan budaya-budaya positif yang lain salah satu yang memiliki peran sangat tinggi adalah yang terutama pemipin dan pejabat-pejabat yang memiliki tanggung jawab di daerah tersebut.

    jogjaku-bersihJika boleh saya membandingkan keberhasilan Yogyakarta dalam menjaga kebersihan dan budaya membuang sampah pada tempatnya sudah jauh lebih tinggi itu karena pejabat terkait sangat sering memberikan sosialisasi dan kebijakan-kebijakan yang sangat mendukung untuk terlaksananya pencegahan terjadinya banjir tersebut.

    jogja-sehatYang paling mudah dan sudah saya rasakan adalah saat saya melihat pedagang Kaki Lima di pinggir jalan, kebijakan mereka adalah setiap PKL wajib membersihkan tempat mereka jualan setelah mereka selesai berjualan dengan cara membawa tempat sampah sendiri, dan jika melanggar, maka bisa di berikan sanksi tidak boleh di ijinkan jualan kembali. Dan aturan ini di sampaikan sejak pertama kali jualan sehingga sudah di tanamkan sejak awal. Nah, kalau pemimpinnya mau memberikan contoh serta pendekatan langsung terhadap masyarakat dan mau bersikap tegas. Pasti rakyatnya, akan sadar juga akan menirunya.

    BalasHapus